Ayat-Ayat Al-Quran bicara takdir



Beberapa ayat Al-quran al-Karim menandaskan adanya qadha dan qadar serta pengaruh mutlaknya, dan bahwa setiap peristiwa alami pasti telah didahului oleh Kehendak Ilahi dan bahwa hal itu telah tersurat sebelumnya dalam suatu “kitab yang nyata”.

Misalnya :

“ Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” [57:22]

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” [ 6 :59]

“Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?.” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.” Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.” Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orangyang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” ” [ 3 : 154]

Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu [ 15 : 21]

”Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” [65:3]

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut (qadar) ukuran” [54:49]

“Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” [ 14:4]

“Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [ 3:26]

Sedangkan contoh ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya, mampu mempengaruhi masa depan dan nasibnya dan dapat pula mengubahnya adalah sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” [13:11]

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” [ 16:112 ]

“dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” [ 29:40]

“dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya” [41:46]

“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” [76:3]

“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” [18:29]

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia” [ 30:41]

Masih ada lagi ayat-ayat lain yang dapat digabungkan dengan kumpulan ayat-ayat pertama ataupun yang kedua.

Ada kalanya kedua kumpulan ini dalam pandangan kebanyakan orang awam dan bahkan dalam pandangan ahli tafsir dan teologi Islam dianggap saling bertentangan, dan karenanya itu tak ada jalan lain kecuali menakwilkan (menyimpangkan arti) yang satu, sehingga kesimpulannya bersesuaian dengan yang kedua, dan dengan demikian dapat diterima hasilnya.

Sejak pertengahan abad pertama hijriah, saat munculnya kedua pemikiran mengenai persoalan ini, sekelompok orang mendukung aliran “kebebasan manusia” serta ikhtiarnya (kebebasan memilihnya) lalu menakwilkan kumpulan ayat-ayat pertama. Mereka ini dikenal sebagai kaum Qadariyah. Sementara kelompok lainnya mendukung takdir gaib yang amat ketat menguasai segala perbuatan manusia, lalu menakwilkan kumpulan ayat-ayat kedua. Mereka ini dikenal sebagai kaum Jabariyah.

Kedua kelompok ini kemudian lebur dalam dua firqah (kelompok) besar aliran teologi, yakni kaum Asy`ariyah dan mu`tazilah. Masing-masing kelompok mengikuti beberapa dari pikiran-pikiran salah satu dari kedua aliran tersebut diatas, yakni kelompok Asy`ariyah yang mendukung aliran jabariyah, sementara kelompok Mu`tazilah mendukung aliran Qadariyah.

Makna Cinta

MAKNA CINTA

Betul itu, tidak salah. Setiap hari dan setiap saat semua orang di dunia ini tak pernah berhenti-henti membicarakan masalah yang berkaitan dengan cinta.

Dalam kehidupan manusia, cinta sering menampakkan diri dalam berbagai bentuk. Kadang-kadang seseorang mencintai dirinya sendiri, kadang-kadang mencintai orang lain. Cinta pada diri sendiri membuat seseorang akan mampu menjaga dirinya. Bayangkan kalau seseorang tidak mencintai diri sendiri, pasti ia takkan peduli dengan kondisi dirinya. Kalau ia sudah mencintai diri sendiri, akan muncul dorongan sebaliknya, yaitu membenci segala sesuatu yang dapat memadorotkan dirinya. Namun yang patut diingat adalah cinta pada diri sendiri pun harus diimbangi dengan bentuk-bentuk cinta pada yang lain.

Lalu Cinta itu sendiri apa?

Menurut pandangan umum, Cinta adalah sebuah perasaan ingin membagi secara bersama-sama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain baik berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa saja yang diinginkan objek tersebut.

Tapi menurut saya, Cinta itu pada dasarnya adalah untuk saling menyelamatkan, saling melindungi dan membahagiakan diri. Jika kita mencintai diri atau pun orang lain dengan sepenuh hati, itu artinya kita menggantungkan diri pada makhluk yang dengan berbagai kelemahannya belum tentu dapat memberikan semua kebahagiannnya. Oleh karena itu, cinta yang sepenuh hati hanya patut kita berikan pada Sang Khalik yang sudah pasti memberikan respon yang dapat menentramkan hati, karena Dia pasti akan memberikan balasan setimpal bahkan lebih daripada yang kita berikan kepada-Nya.

Firman-Nya ada dalam sebuah hadist qudsi, “Jika dia (hamba-Ku) mendekat kepadaku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Jika ia mendekat kepada-Ku sedepa, Aku akan mendekatinya sehasta, jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”

Mungkin kita beralasan bahwa respon dari sesama makhluk itu dapat terlihat, sedangkan respon dari-Nya tidak bisa terlihat. Misal, kalau kita tertawa kepada seseorang, kita bisa langsung melihat responnya, apakah ia membalas tertawa ataukah malah cemberut.

Well…

Respon dari Allah memang tak dapat terlihat secara kasat mata, namun dapat dirasakan. Nah, untuk dapat merasakannya tentunya seorang hamba mesti benar-benar tulus dalam mencintai-Nya. Sepanjang cinta kita pada-Nya masih terkalahkan oleh cinta kita pada hal-hal lain selain diri-Nya, tentu kita akan sangat sulit merasakan respon itu. Selain itu, kalau yang menjadi ukuran adalah hal-hal yang kasat mata saja, sangat mungkin apa-apa yang terlihat itu sangat bertolak belakang dengan apa yang ada di dalam hati atau pikiran. Contohnya saja saat kita tersenyum pada seseorang dan orang lain pun tersenyum, apa kita bisa memastikan bahwa senyumnya itu pun benar-benar tulus? Atau jangan-jangan di balik senyumnya itu dia sangat membenci kita, senyumnya hanya sekedar lips service semata. Sungguh, kita betul-betul tidak tahu apa yang sesungguhnya berada di balik respon yang ditampakkan seseorang. Seperti kata pepatah bilang, “Dalamnya lautan kan kuselami, hati orang siapa yang tahu”.

Sedangkan Allah, Ia Maha Tahu sejauh mana kadar cinta seorang manusia pada diri-Nya. Bahkan, Ia pun tahu sangkaan tiap-tiap hamba-Nya pada diri-Nya. Jadi, respon yang kasat mata tidaklah dapat dijadikan ukuran. Hakikat yang sebenarnya adalah di dalam hati, sesuatu yang amat halus dan lembut, abstrak, tidak berupa dan tidak dapat diraba. Segala tindakan yang dilakukan akan terasa lebih indah bila dilakukan dengan hati. Lain lagi ceritanya kalau hanya dilakukan karena dorongan fisiologis semata.

Misalnya saja dalam urusan seks. Kalaulah seseorang melakukan aktivitas seksual hanya sebatas pada kenikmatan, apa bedanya dengan hewan? Dalam kondisi atau dengan cara apapun, aktivitas seksual seperti itu dapat dilakukan dan pasti melahirkan kenikmatan. Namun, apakah kita, yang mengaku sebagai makhluk yang paling sempurna ternyata bisanya hanyalah mengejar kenikmatan belaka? Bukankah semestinya kita membuktikan bahwa diri kita benar-benar makhluk yang mulia, sehingga kita tidak memahami cinta hanya sebatas nafsu saja, namun lebih dari itu, yaitu menggapai cinta yang diridoi Allah, yaitu cinta yang lahir dari dalam nurani.

Sauh pun tertancap di dasar samudera, kokoh dan lepas dari keangkuhan. Seperti itulah hakikat cinta. Namun, kadang ia tergadai dalam sikap egois yang terpasung nafsu.

Saat aku melihat di jalanan ada dua bocah ABG yang sedang asyik-asyiknya bercanda dan tertawa dengan mesra dibawah remang-remang lampu taman yang berpendar, seolah-olah dunia milik mereka berdua. Mereka benar-benar mengingatkanku pada masa lalu. Jujur aku akui, dulu, walaupun saat ini aku terbilang masih muda tapi diri ini sudah cukup banyak mereguk berbagai pengalaman tentang asem-manis-pahitnya cinta. Mulai dari main mata, lirik sana lirik sini, kenalan, pacaran, seterusnya dan seterusnya. Maka aku dapat mengambil kesimpulan, kadang manusia itu seperti hewan, cinta hanya digunakan untuk menipu, hanya untuk sekadar memenuhi bisikan setan yang ngakak puas dengan akal bulusnya yang diikuti mereka. Setelah pengalaman yang aku alami selama ini, pantaslah hatiku mendesis pada mereka, “Kasihan, pastilah tak terpikir oleh mereka tentang getirnya sebuah pengkhianatan.” Dan pastilah mereka sudah beranggapan bahwa yang mereka rasakan sekarang adalah yang disebut dengan cinta.

Kita tentu tahu, cinta zaman sekarang sudah dibentuk oleh opini media massa, acara televisi contohnya, mulai model cintanya orang-orang Barat hingga roman picisan yang dikemas dalam bentuk sinetron, sineTV, FTV atau apa pun lah namanya. Ah, itu semua ternyata hanyalah kamuflase belaka. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, berbagai acara itu telah mengajarkan kita tentang cinta yang semu. Dan anehnya, orang selalu mengikuti setiap pesan tanpa berpikir panjang apakah pesan itu positif atau negatif untuk dirinya. Atau mungkin kita terlalu dungu, tidak mengerti sebuah trik dari sekelompok orang dibalik layar yang membuat skenario semua ini. Ah, wajarlah kalau para remaja mudah sekali mereka jadikan sebagai objek. Dan memang luar biasa sekali pengaruh media massa, begitu mudah mengubah perilaku orang.

Begitulah realita cinta yang saya saksikan kini. Kalau selama ini kita selalu patuh terhadap pesan cinta yang ditampilkan oleh si om sutradara, kenapa kita tak mencoba patuh kepada pesan cinta dari Sang Maha Sutradara. Kalau kita mencintai seseorang, cintailah dia ala kadarnya. Karena bisa jadi ia membenci kita. Kalau kita membenci seseorang, bencilah dia ala kadarnya. Karena bisa jadi ia mencintai kita. Jadikanlah cinta untuk mendapatkan ridho-Nya, dan janganlah kita mencari cinta untuk mendapatkan kenikmatan sesaat yang menyesatkan.

Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Semuanya berjalan atas rencana dan pengetahuan Allah. Bahkan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Berbicara cinta, artinya berbicara keyakinan. Lantunan cinta, adalah tembang pengorbanan seorang hamba dalam lingkup Sang Khalik, yang menumbuhkan ketegaran dan daya juang yang tinggi. Hingga saat cinta terkhianati, tak berujung putus asa atau penyesalan. Dan bila cinta terjawab, Rindu Ilahi pun kan selalu menyertai.

Jadi, makna cinta sejati, sederhananya, menurut saya adalah cinta terhadap seseorang yang didasari atas kecintaan yang sama terhadap Allah SWT, bukan karena si dia cakep, cantik, tajir, pinter, dan semua objek fisiologis lainnya. Itu semua hanyalah opsional. Sebab, cinta yang berasal dari satu keyakinan akan timbul sebuah kepercayaan, dari sebuah kepercayaan lahirlah kesetiaan dan dari kesetiaan maka itulah yang disebut dengan cinta sejati.

Terkesan agamis? Tanyalah diri sendiri, kita manusia yang memiliki agama atau bukan?

Thanks buat Chira atas pertanyaan-pertanyaan tentang “Cinta Sejati”-nya hingga menginspirasi saya untuk menuangkannya disini.